Skip to content

Secercahkata

Just another WordPress.com site

Seorang bapak memulai sholat bersama anaknya yang masih balita

Dia di sisi kiri,  si anak di sebelah kanannya

Dia bertakbir,  si anak melakukan yang sama

Dia membaca Al Fatihah, si anak mengamininya

Dia ruku,  sujud,  tahiyat dan salam

Diikuti si anak tanpa ketinggalan

 

Setelah salam,  dan dzikir senyapnya

Dia menatap wajah kesayangannya itu dan berkata

, “Nak,  meski kita terlihat berdua

Namun  jangan kau lupa, Dia selalu menemani kita

dan juga malaikat bersaf-saf hingga langit pertama

Meskipun kita harus menembus gulita

Akan tiba saatnya kita mendapatkan cahaya

Saat semua kebingungan pada pekatnya akhirat yang tak bersisa

 

Tak ada sia-sia dengan tertahannya kantukmu

Karena nanti akan tergantikan wangi singgasanamu

Yang bertahtakan mutiara kemilau

 

Nak,  mari penuhkan doamu

Agar tempat sujud sunyi ini,  kelak akan penuh sesak doa

Agar yang saat ini terlelap, kelak yang mengingatkamu

saat kau lupa

Agar raga yang sekarang teringkuk hangatnya mimpi

Akan memenuhi tempat ini dengan kalam suci”

 

Kemudian si Bapak menutupnya dengan doa

Yang pagi itu khusuk sekali seperti shubuh-shubuh sebelumnya

Lalu ia menutup mushola

sendiri

Seperti adzan, iqomah, dan sholatnya selama ini

 

Jakarta 13112017

 

OLEH: ARIF ZAINUDIN


Seringkali kita menciptakan bayang sendiri di depan jalan kita

Menyerupai sosok nyata. Membuat lupa

Padahal jalan saja, maka kita akan menemukan sebuah kelokan

yang menyampaikan kita pada indahnya taman

 

Dia sudah memerintahkan kita untuk terus berjalan, membuat gubug-gubug

Menanam sekedar pohon tempat kita melepas kantuk

Dia sendiri yang akan menyuburkannya bagi kita, menumbuhkan perdu tangkai dan manisnya bunga

Buah yang ranum-ranum di ujung senja

Kita saja yang tidak percaya

Sibuk menciptakan bayang-bayang besar dan setelah itu

Lari seperti dikejar hantu

 

Dia menyuruh kita hanya sekedar membuat jalan

Dia sendiri yang akan menciptakan kelokan

yang akan menyampaikan kita pada kebun-kebun harum

Kolam bening, dan hamparan pelangi berkuntum-kuntum

Kita saja yang malas menyisihkan tenaga

Karena sibuk mewarnai senja yang bahkan titiknya pun belum ada

 

Ikuti saja perintah-Nya

Setelah itu, bukan kuasa kita

 

 

11 Oktober 2014 – Januari 2016

 

Catatan: Puisi ini diikutkan dalam lomba menulis puisi di kantor dan memenangkan salah satu penghargaan.

By Arif Zainudin

 

Rancak Tari Rapal Geleng dari Sabang

Dipadu manisnya Ulee Padang yang elegan

Sungguh berarti si manis uang

Karena dia pemerataan dapat dilakukan

 

 

Bunga raksasa si Raflesia Arnoldi

menjadi ikon daerah Bengkulu

Meski harus berletih capai

Melayani daerah sungguh membantu

 

Suku Baduy asal Sunda Asli

Darinya tercipta angklung

Bukan utama hasilkan PATDA Asli

Tapi layanan masyarakat tujuan agung

 

Jika Kang Mas  Ke Pekalongan

Jangan lupa membeli batik halusnya

Sungguh rugi dana perimbangan

Jika tak maksimal penggunaannya

 

 

Bertemu orang Osing di Banyuwangi

Mengingatkan kita Tari Gandrungnya

Pinjaman asing tak selalu rugi

Jika tepat penyalurannya

 

Ke Madura lihat lomba karapan sapi

Kalau Pacuan kuda adanya di Sumba Timur

Dana Negara harus digunakan hati-hati

Agar tercipta rakyat yang makmur

 

Surga surfing bukan hanya di Wakatobi

Tapi juga ada di raja Ampat

Sungguh pusing lakukan evaluasi

Jika tanpa didukung data yang tepat

 

Toki Tifa lagu terkenal Maluku

Semakin merdu bersama paduan suara

Jangan pernah tinggalkan integritasmu

Dalam mengamankan keuangan Negara

 

==============OOOOO===============

Jakarta 30 Desember 2014

Dari file berserakan

Oleh: Arif Zainudin

 

Jangan pernah salahkan aku

Sebab akulah uang, pedang bermata duamu

 

Memang aku yang menemani Qarun, Firaun dan Haman

dalam singgasana sombongnya

Aku mewarnai rumah-rumah  megah kaum Saba

dari setiap limpahan buah dan setiap jengkal tanahnya

Aku yang mengelilingi pembesar Quraisy

yang membanggakanku

saat orang-orang miskin itu

melafali keyakinannya yang mencampakkanku

dan memilih bau Syurga

Tapi aku juga berjasa membantu Sulaiman menunjukkan kekuasaan-Nya

Bersama Abu Bakar, Usman, dan Abu Talhah mendukung Rasul terakhir

saat beliau menegakkan kalimat-Nya

di bumi ini

 

Aku mampu bertengger di antara kebanggaan orang-orang yang kau benci

Bergelayut manja pada mahkota angkara

Memudahkan jalan mereka

pada setiap perlawanan atas nama budi

Tapi aku tak segan menjadi cahaya sejati

pada tangan-tangan gaib

meski seketip

Cahaya hati mereka mampu melesatkanku

menjadi matahari

 

 

Aku bisa terkungkung pada Lamborghini dan Mercy

Vila penjajah bukit, desah nafas lancung birahi

Di setiap langkah raja-raja kecil atas nama otonomi

Tapi aku bisa disemai meratakan senyum negeri ini

di setiap pantai, perbatasan negeri, dan gunung yang sepi

Merekatkan hati yang nyaris terurai

Melewati jalan, lautan , dan angkasa raya

Anak-anak yang nyaris tertutup masa depannya

Ibu-ibu yang nyaris kehilangan bayinya

karena tak ada siapapun penolongnya

Aku memberangkatkan anak bangsa ke seluruh rengkuhan pertiwi

yang mencoba meniupkan pelita

yang nyaris padam oleh gulitanya hati

di pusat-pusat negeri ini

 

Jangan pernah salahkan aku

Karena akulah uang, pedang bermata duamu

Berikan aku pada putera-puteri terbaikmu

Untuk merajut kembali koyakan negeri ini

Dengan lima senjata hati

Melalui lima gandewa sakti

 

Jurang Mangu  18 Oktober 2014

Ragil baru saja mengambil tas kerjanya dan berjalan ke luar rumah saat pintu depan terbuka.  Yani, istrinya, muncul dari luar dengan ucapan salam dan langsung mendekati Ragil.

“Gagal lagi, Mas.” Kata Yani setengah mengeluh sambil mendekati suaminya.  Matanya terfokus pada baju Ragil yang tidak rapi.  Sambil memberi isyarat suaminya agar diam tidak bergerak tangannya mulai meraih baju Ragil.  Ragil tersenyum samar.  Tangannya terlentang karena diangkat paksa oleh Yani yang kemudian sibuk merapikan kemejanya.

“Mama Syifa bilang, dia belum dapat mengembalikan pinjamannya hari ini.  Padahal dia sendiri yang sudah berjanji bulan lalu dan aku sudah berulang kali mengingatkannya kalau uang itu adalah sebagian bekal kita berlebaran di kampung nanti.”

Ragil sejenak memandang wajah istrinya lalu terus bergegas ke luar rumah.

“Memang Dek Yani bisa mendesaknya untuk segera melunasi utangnya?” tanya Ragil sambil berjalan ke arah motor yang terparkir di sudut halaman.  Yani kembali ke luar rumah mengikuti suaminya.

“Ya enggak sih.  Kalau melihat kondisinya saat ini sepertinya susah.” Yani berhenti sebentar.  Tangannya meraih tas di punggung Ragil dan dengan cekatan dikaitkannya tali penutup tas sehingga tas tertutup dengan sempurna.

“Tapi dia kan sudah berjanji, Mas.  Dia juga tahu kondisi kita.” Lanjut Yani sambil wajahnya telihat merengut ringan.

Kali ini Ragil tersenyum lebar.  Memang seperti ini istrinya.  Sudah beberapa kali terjadi, Yani meminjamkan uang yang sebenarnya juga masih diperlukan.  Tapi Ragil tahu, istrinya bukanlah orang yang tahan mendengar keluh kesah orang yang datang dan kemudian segera meminjamkan uang yang masih dibutuhkan sendiri.  Hanya saja, saat jatuh tempo dan uang dibutuhkan, bukan sekali dua istrinya harus kecewa karena apa yang dijanjikan tenyata tak ditepati si peminjam.  Seperti kali ini.

“Ya, sudah.  Kan dari dulu sudah kubilang, kalau memang belum siap meminjamkan ya jangan meminjamkan…”ucapan Ragil terputus saat istrinya mencium punggung tangannya. Lalu diciumnya kening istri yang disayanginya itu.  Beruntung sekali aku memilikimu Dik, puji batinnya tulus.

“Tapi kalau sudah telanjur, yang bisa kita lakukan ya hanya mengingatkan saat jatuh tempo dan bersabar. Doakan dia supaya ada rizki buat melunasi hutangnya.” Kata Ragil sambil mengenakan helm.

Yani mengangguk.

“Utang yang sebelumnya sudah dilunasi kan?” tanya Ragil. Yani mengangguk lagi.

“Ya sudah, berarti memang Mama Syifa sedang kesusahan. Doakan saja ya.” Ragil sudah siap di atas motor yang sudah dinyalakan.  Yani berjalan ke gerbang pintu luar bersiap untuk menutup.

“Tugas kita saat ini bersabar menunggu pelunasan hutangnya. Anggap saja kita menolongnya. Suatu saat Allah akan membalas di saat yang tepat.”

Yani mengangguk lagi.  Motor berjalan perlahan menuju tempat kerja Ragil.  Yani tersenyum.  Selalu begitu. Segala keluhannya mengenai persoalan keuangan temasuk utang piutang ditanggapi ringan oleh suaminya.

Sebenarnya Yani sudah memperkirakan sejak awal kalau Mama Syifa akan memperpanjang masa pinjamannya. Kondisi perekonomian tetangga dekatnya itu sedang kacau.  Suaminya nampak telihat dermawan bagi keluarga di kampung, namun untuk urusan istri dan anaknya, seolah laki-laki itu tak peduli.

Mama Syifa sendiri, meski seorang ibu rumah tangga seperti dirinya, temasuk wanita yang cekatan.  Selalu ada saja yang dikerjakan untuk menghasilkan uang yang digunakannya untuk keperluan anak-anaknya.  Yani berpikir, dirinya cukup beruntung. Meski penghasilan suaminya tidaklah telalu besar dan mereka bukanlah orang yang kaya, namun setidaknya untuk kebutuhan pokok rumah tangga, suaminya selalu siap sedia.  Dia tak harus bersusah payah menambah nafkah keluarga seperti Mama Syifa.

Suaminya juga bukan jenis orang yang tega melihat kesusahan orang lain. Seringkali Ragil menyuruh Yani memberikan apa yang ada di rumah untuk tetangganya yang terlihat lebih susah.  Entah beras, atau sayur dan lauk matang.  Kadang-kadang sampai Yani merasa tak enak memberikan barang-barang itu.

“Kenapa tak enak hati? Kan ini makanan yang baik, kita sukai, dan masih layak diberikan?”

“Tapi nggak enaklah Mas. Masa sayur sama lauk seperti ini pantas diberikan kepada tetangga?” Yani tetap bertahan enggan menuruti saran suaminya.

“Kenapa enggak? Memang ini makanan kita sehari-hari bukan? Lagi pula makanan ini halal dan baik. Hanya orang-orang saja menganggapnya makanan sederhana. Tapi kan kita tahu, tetangga kita itu perlu?”

Akhirnya Yani mengalah.  Setelah menawarkan kepada tetangganya akhirnya sore itu Yani mengantarkannya, dengan ditambahkan beberapa butir buah jatahnya, kepada sepasang manula tetangganya yang jauh lebih sederhana. Matanya menyaksikan tetangganya itu mengucapkan rasa terimakasih yang tulus.  Hari itu Yani merasa sebagai hari yang paling membahagiakannya karena telah melihat senyum terpancar dari wajah tua mereka.

Soal pinjam-meminjam, suaminya memang jarang berurusan dengan tetangganya.  Namun, karena Yani merasa yang dipinjamkannya adalah hasil kerja suaminya, maka ia selalu melaporkan soal utang piutang itu.  Suaminya tak pernah menolak, namun ia selalu diingatkan agar memastikan ia siap dengan segala kemungkinan termasuk bila tak tertagih.

“Aku tak mau Dek Yani malah merusak kebaikan diri sendiri dengan mengeluh saat utang tidak tertagih.  Meminjamkan uang itu dianggap lebih besar pahalanya dibandingkan bersedekah karena yang meminjam jelas sangat memerlukan. Makanya sayang jika kesempatan besar itu hilang karena kita tak siap mental.” Demikian penjelasan Ragil kalau Yani bertanya mengapa Ragil terkadang agak rewel kalau Yani mau meminjamkan uang kepada tetangganya yang dikenal sulit ditagih. Temasuk Mama Syifa ini.

Mengingat wajah Mama Syifa yang memelas saat ditagih tadi dan ceritanya yang selalu menyentuh hatinya membuat Yani menyetujui kata-kata suaminya.  Memang harus sabar.  Jangan sampai kejengkelan mengingat kebutuhan pulang kampung lebaran nanti melupakan bahwa saat ini ada yang lebih membutuhkan uang itu.

Yani jadi teringat suaminya lagi.

***

Bukan tanpa alasan Ragil sering bersikap longgar soal piutang itu.  Ragil sangat paham istrinya sama seperti dirinya, sangat tak tahan mendengar dan melihat kesusahan orang lain.  Ragil juga tahu kondisi tetangga-tetangganya itu.

Ragil dan Yani adalah pasangan muda yang tinggal di perkampungan pinggiran Jakarta.  Sama seperti kebayakan para pendatang baru dari daerah, mereka hanya mampu tinggal di perkampungan yang rata-rata dihuni keluarga yang berpenghasilan menengah ke bawah.

Memang sudah menjadi pilihan mereka berdua untuk menetap di daerah seperti itu.  Selain karena harga rumah dan biaya hidup yang terjangkau, mereka berdua juga sepakat untuk membiasakan anak-anak mereka tinggal bersama teman-teman dari kalangan biasa agar mereka memiliki kepekaan sosial yang tinggi.

Nampaknya harapan itu cukup terpenuhi.  Bagus dan Fudhah, kedua buah hati mereka, jarang mengeluh ketika sebagian keinginan mereka belum dikabulkan oleh bapak ibunya.  Mungkin itu karena mereka sering menyaksikan sendiri kehidupan yang jauh lebih sederhana – kata lain yang lebih sopan untuk susah, dari mereka.  Seringkali kalau mereka mulai rewel dengan rengekan kekanakan mereka, nasehat Ragil dan Yani tentang kehidupan susah tetangga mereka ditambah cerita-cerita tentang nabi dan sahabat mampu meredakannya.

Mereka juga sering menyaksikan sendiri kehadiran tetangga mereka, teutama para wanitanya yang mendatangi Yani untuk meminta pertolongan baik sekedar pinjam barang remeh temeh maupun uang yang cukup lumayan jumlahnya.  Seringkali Bagus dan Fudhoh bertanya kepada Yani, mengapa mereka harus menolong? Buat apa?

Seperti pagi ini.  Sekali lagi istrinya berurusan dengan mMama Syifa tetangga mereka yang sebenarnya penghasilan suaminya bukanlah kecil.  Ragil tahu mengapa Mama Syifa sering membuat istrinya mengeluh saat utang yang jatuh tempo baru mampu dilunasi berbulan-bulan kemudian.  Sifat suaminya yang ringan tangan pada keluarganya di kampung namun sangat perhitungan pada keluarga sendiri suka tak suka membuat Ragil dan Yani memahami Mama Syifa.  Keluarga itu perlu ditolong, meski mereka hanya mampu membantu dengan pinjaman uang semampu mereka tanpa bunga. Seperti juga yang mampu mereka lakukan kepada tetangga lainnya.

Ragil tersenyum. Dipandanginya motor yang kini sedang ia kendarai. Motor ini masih nampak bagus dan mengkilat.  Kendaraan ini belum lama ia beli meski bukan baru karena bekas pakai teman dekatnya yang gagal membayar utangnya.

“Mas,  kalau Mas Ragil tak keberatan tolong motor ini diambil untuk melunasi utangku,” kata temannya begitu pinjaman dari Ragil jatuh tempo.  Ragil setuju dan membayar selisih harga motor setelah dikurangi utang tersebut. Ragil sendiri tidak menentukan harga meski diakuinya, harganya sedikit lebih murah jika dibandingkan keluaran toko.

Ragil merasa hidupnya dipermudah dengan jalan seperti ini. Seperti ada yang menunjukkan jalan saat ia menginginkan sesuatu, selalu ada jalan penyelesaian yang tiba-tiba muncul di hadapannya yang sebelumnya tak tepikirkan sama sekali.

Tapi sebenarnya, bagi Ragil bukan hanya soal kemudahan-kemudahan hidup yang ia pikir sebagai balasan kepeduliannya kepada tetangga-tetangganya. Ia hanya memikirkan bahwa ia adalah sama dengan orang-orang yang ia tolong itu.  Ia juga seringkali menerima uluran tangan orang-orang dekatnya saat kondisi keuangannya belum sestabil sekarang ini.

Berkali-kali ia pernah menebalkan mukanya kepada kakak-kakaknya atau teman dekatnya  untuk meminta pertolongan entah sekedar kebutuhan pengganjal perut atau musibah mendadak yang mereka hadapi.  Saat ia harus meminjam, maka saat yang ia takutkan adalah ketika ia belum tahu sama sekali kapan dia mampu melunasinya padahal ia sudah mengumumkan waktu pengembaliannya: segera setelah ia punya uang.  Ragil bukan tipe pengemplang utang.  Selalu ditandainya waktu pengembaliannya, dan begitu ada uang, ia singkirkan kebutuhan yang tak begitu mendesak untuk mengutamakan pelunasan utang itu.  Meski Ragil juga seringkali mengalami kondisi terdesak, tak mampu sama sekali untuk mengembalikan padahal jangka waktu pinjaman semakin memanjang. Saat itulah ia menebalkan mukanya untuk meminta maaf meski si empunya piutang tidak datang menagih.

Namun Ragil tak bisa memaksakan tetangganya itu untuk berbuat seperti dirinya.  Selain jumlah yang seringkali tak seberapa untuk ditagih, Ragil menyadari mereka memiliki pengalaman dan latar belakang yang berbeda sehingga tak sama pula cara mengungkapkannya.

Ragil pernah merasakan menjadi orang miskin.  Memang susah menjadi orang miskin itu.  Lebih susah lagi ketika saat diburu kebutuhan, tak ada orang yang peduli.  Maka sebagai rasa syukur pernah mengalami kesusahan seperti itu, Ragil selalu membukakan tangannya untuk menolong meski ia juga membatasi diri: menolong sesuai kemampuan.

Ragil hanya berharap keluarganya diberikan kemudahan utnuk terus berbuat seperti itu.

***

Sore itu, Ragil keluar dari tempat kerjanya tepat waktu dengan harapan dapat berbuka puasa bersama anak istrinya.  Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, saat bulan Ramadhan seperti ini, waktu kepulangan dipercepat satu jam.  Seharusnya ini sangat cukup membantunya untuk dapat menikmati buka puasanya bersama keluarganya di rumah.

Namun, rupanya kebijakan itu seperti seragam yang mewarnai semua tempat kerja di Jakarta ini.  Jam pulang kerja berarti saat dimulainya kemacetan.  Kemacetan yang biasanya ada saat jam kepulangan normal, di bulan puasa ini bergeser persis pada saat jam kepulangan yang baru.  Jadi meski Ragil pulang satu jam lebih cepat, namun rupanya macet juga bergerak secepat kepulangannya.

Terjebak macet seperti ini, Ragil membayangkan alangkah enaknya orang-orang yang bekerja di dekat-dekat rumah.  Tak harus setiap detik berhenti untuk kemudian berjalan beberapa detik lagi.  Badannya sudah mulai basah oleh keringat dan perasaan cemas dan tak sabar yang ia khawatirkan mulai merusak irama puasanya.

Terlintas sebentar dalam benaknya, Tuhan Yang Di Atas  tiba-tiba memberikan kendaraan yang bisa terbang dan membebaskan dirinya dari macet yang merepotkan ini.

Saat asyiknya membayangkan hal yang tak masuk akal itu, tiba-tiba Ragil menyadari bahwa motornya berhenti melaju.  Bukan karena macet karena kini dia sudah berada di jalur yang kurang padat.  Kendaraan di kanan kirinya sudah bergerak teratur meski masih perlahan-lahan.

Ragil merasa ada yang tidak beres dengan motornya.  Dia meminggirkan kendaraan kesayangannya itu dan kemudian memeriksa apa penyebabnya.

Dilihatnya rantai terlepas dari jalurnya.  Ragil beristighfar, sedikit mengeluh dalam hati.  Ia merasa bahwa hari ini ia akan melewatkan buka, bahkan sholat Maghrib dan Isya di perjalanan.  Ia tak memiliki keahlian yang memadai soal mekanik, terlebih alat motor tertinggal di rumah.  Padahal, jarak terdekat bengkel yang ia ketahui sekitar tiga atau empat kilo meter jauhnya.  Jika berjalan kaki, mungkin ia harus melewatkan Sholat Maghrib sambil berjalan kaki.  Matahari nampak sudah memerah di ufuk barat.

Tapi tak ada cara lain lagi.  Ia harus berjalan kaki sambil mendorong motornya.  Ragil pun mulai berjalan perlahan ke bengkel terdekat.  Padahal ia sudah mulai merasakan dampak puasanya hari ini.  Badan terasa lemas sementara kerongkongannya mengering sejak tadi.

Sempat terlintas kembali bayangan iseng tentang kendaraan ajaib yang mampu tebang membawanya menjauhi musibahnya kali ini, tapi Ragil mengusirnya dengan bayangan yang lebih menyejukkan.  Ia jadi teringat kisah tiga orang pemuda yang terjebak dalam gua[i]. Tiga pemuda Bani Israil itu berteduh dari hujan pada sebuah gua.  Alih-alih mendapatkan kenyamanan, mereka tejebak dalam gua saat sebuah batu besar dari gunung menutup pintu gua tersebut.  Mereka tak mampu keluar dari tempat itu.

Di tengah-tengah keputusasaan dan kepanikan, salah satu dari tiga pemuda tersebut meminta agar mereka memperhatikan amal shalih yang telah mereka kerjakan karena Allah dan kemudian berdoa melalui perantara amalan mereka tersebut agar Alloh menyingkirkan batu itu dari mulut gua.

Pemuda pertama mengadukan amal tebaiknya.  Ia memiliki kedua orang tua yang sudah sepuh, seorang istri dan anak-anak yang masih kecil.  Pemuda itu bekerja menggembalakan ternak untuk diambil susunya yang tak akan diberikan keada istri dan anak-anaknya kecuali setelah kedua orang tuanya kenyang terlebih dahulu.  Suatu hari, pemuda itu menggembalakan ternak hingga melewati sore dan ketika sampai di rumah didapatinya kedua orang tuanya sudah tertidur pulas padahal dia sudah memerah susu untuk mereka.  Pemuda itu tak berani membangunkan mereka dan terus menungguinya untuk meminumkan susu buat mereka.  Meskipun anak-anaknya menangis kelaparan, ia bergeming hingga fajar dan kedua orangtuanya bangun.

Pemuda itu berdoa dan meminta kepada Alloh, jika amalnya itu ikhlas semata karena-Nya, semoga Alloh menolong mereka.  Begitu doa selesai dipanjatkan, batu besar itu bergeser sedikit namun hanya cukup untuk melihat langit di luar gua.

Pemuda kedua mulai berdoa dengan menceritakan amalnya.  Dulu, dirinya pernah menyukai gadis sepupunya yang sangat cantik dan menarik hati.  Ia berusaha merayu sepupunya itu agar memenuhi nafsu badaninya namun sepupunya selalu menolak.  Suatu saat, gadis itu terdesak kebutuhan ekonomi dan memerlukan pertolongannya.  Pemuda itu menyanggupi untuk menolong dengan syarat, gadis itu mau menuruti hasrat nafsunya.  Dalam keadaan terdesak, gadis itu tak menemukan altenatif lain kecuali menerima.  Di saat pemuda itu di antara kedua paha si gadis, si gadis mengingatkan pemuda tersebut agar takut pada Allah.  Si Pemuda yang sudah tersulut nafsunya tiba-tiba membatalkan niatnya dan meninggalkan sepupunya itu juga uang yang sudah diberikan.  Pemuda itu kemudian memohon jika amalnya itu ikhlas karena Alloh, ia berharap agar mereka dikeluarkan dari gua.   Doa terjawab, batu semakin menggeser namun tetap belum mampu mengeluarkan mereka dari gua itu.

Pemuda terakhir juga menceritakan amalnya dan berdoa.  Dulu, dia adalah seorang majikan dengan para pegawai yang dia gaji.  Suatu saat, salah satu pegawainya meminta gaji dan dia memberikannya namun si pegawai tidak bersenang hati.  Pegawai itu pergi, dan upahnya masih ada di tangan pemuda itu.  Oleh pemuda itu, upah pegawai tadi dikembangkan hingga menjadi sapi dan penggembalanya.  Saat pegawai itu datang dan meminta haknya, si pemuda menunjuk kepada sapi dan penggembalanya dan mengatakan bahwa itu adalah upahnya yang selama ini tidak diambil. Tanpa banyak bicara, si pegawai pergi sambil membawa hewan ternak semuanya tanpa sisa.  Pemuda terakhir itu pun berdoa jika Allah menerima keikhlasan hatinya memberikan upah pegawai tadi, ia memohon agar mereka ditolong dikeluarkan dari gua tersebut. Doa dikabulkan, dan batu bergeser penuh.  Mereka dapat keluar dari gua dengan leluasa.

Tiba-tiba Ragil menggeleng. Tidak, itu untuk amalan ajaib yang berat sekali melakukannya. Mengapa dia terpikir akan mendapatkan pertolongan seperti tiga pemuda itu? Terlalu sombong membandingkan amalnya dengan amal ketiga mereka.  Ia merasa malu membandingkan amal yang tak sebeberapa itu apalagi dibandingkan amal pemuda pilihan yang kisahnya diabadikan oleh  Rasulullah.  Lagi pula, dengan cara apa Alloh menolongku? Tanya hati Ragil. Masa dengan kereta kuda yang bisa terbang? Iseng hatinya lagi. Ragil merasa geli sendiri sampai sebuah suara mengagetkannya.

“Kenapa, Mas?” Sebuah sapaan lembut namun terdengar berat berasal dari seorang pengendara sepeda motor.  Pengendara itu berperawakan tinggi besar. Wajahnya yang tak tertutup kaca helm membuat hati Ragil sedikit kecut. Memang wajah itu terlihat bersahabat, tapi  parasnya agak menakutkan.

Namun karena nampaknya orang itu bermaksud baik, Ragil tersenyum.

“Rantainya kendor nyaris putus, Mas. Saya tak bawa alat untuk memperbaikinya,” jawab Ragil berusaha ramah juga.  Orang tadi mengamati motornya dan nampaknya juga melihat rantai yang mengendor dan nyaris putus.

“Wah, bengkelnya masih jauh Mas. Kalau jalan, pasti lama dan melelahkan.” Kata orang itu tadi.

Ragil tersenyum ramah menanggapi namun hanya diam karena tak tahu cara menanggapi balik.  Orang itu makin lama terlihat sebagai orang yang baik.

“Mas, saya dorong ya. “tiba-tiba orang itu menawarkan bantuan. Ragil melihat orang itu kembali memegang setir motornya dan kaki kirinya mulai menjejak salah satu bagian motor Ragil.

Ragil tak sempat menolak. Lagi pula ia sudah yakin bahwa orang itu tidak jahat meski wajahnya telihat garang.  Segera ia memperbaiki posisinya, dan ia merasakan motornya melaju dengan cepat.  Sesekali orang tadi memberi tahu mana yang perlu diperbaiki.  Ragil sendiri tak sempat mengenal nama orang itu karena begitu kesempatan itu tiba, motornya sudah berhenti di sebuah bengkel yang masih buka.  Nampak oleh Ragil, pemilik itu menunggu pelanggan sambil menunggu berbuka puasa karena di dekatnya ada sepiring kue dan satu teko minuman dengan beberapa gelas di atas nampan.

Tepat Ragil turun dari motor, adzan maghrib berkumandang dari mushola dekat bengkel itu.  Ragil menawari penolongnya untuk turun karena ia ingin mentraktir sekedar makanan untuk berbuka puasa di warung yang tampak berjejer di samping bengkel.  Namun, orang itu menolak.

“Terima kasih, Mas. Maaf saya buru-buru.  Semoga motornya bisa diperbaiki ya” Orang itu pamit dan bayangannya segera menghilang bersama motornya yang melaju.

Setelah bayangan penolongnya menghilang, Ragil menuntun motornya ke bengkel itu.  Si pemilik bengkel tetap duduk, namun ia memberi aba-aba melalui tangannya di mana motor diletakkan.

“ Mas, puasa tidak? Kalau ya, buka dulu bersama saya ya.  Sekedar teh manis sama kue nggak apa-apa kan?” Pemilik bengkel itu menyapa dengan ramahnya.

Ragil mendekat. Sambil duduk tangannya harus menerima sodoran teh manis dari si pemilik bengkel.  Ragil diam dan beku. Bukan ia tak suka, namun ia hampir kehilangan seluruh perbendaharaan kata-katanya.

Ragil merasa matanya mengembang. Air mulai menyentuh pipinya. Dulu ia sering meledek istrinya yang gampang terharu atau menangis, tapi kali ini ia nyaris mengumpat diri sendiri karena tak mampu menahan perasaannya.

Sambil minum teh dan berbasa-basi dengan pemilik bengkel, Ragil merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Kebahagiaan yang seharusnya ia sampaikan terima kasihnya kepada penolongnya tadi yang hingga kini belum ia ketahui namanya.  Juga kepada rezki yang tiba-tiba dapat ia nikmati meski sekilas nampak biasa dan sederhana.

Tidak. Ragil tak akan pernah menganggap ini biasa dan sederhana.  Ia tahu dan yakin, bahwa ini adalah cara-Nya membalas kilasan doanya tadi meskipun ia tahu, apa yang dilakukan tadi pagi masih belum seberapa dibandingkan kebahagiaannya sore ini.

Namun kemudahan didorong oleh orang asing tadi yang menghindarkannya dari kelelahan menuntun motor berkilo-kilo meter serta rizki berbukanya kali ini membuatnya semakin yakin bahwa memang ia harus menerima apa yang seharusnya ia terima.  Ragil berjanji dalam hati, seperti penolongnya tadi dan pemilik bengkel dihadapannya ini, ia akan berusaha seperti mereka. Terus menawarkan kebaikan dengan cara dan sesuai kemampuannya.

[i] Kisah tersebut terjadi pada jaman Bani Israil dan diceritakan kisahnya oleh Rasulullah SAW melalui hadist riwayat Ahmad dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dengan syawaid (Takhrij As Sunah karya As Syaikh Al Albani rah.)  Sumber: https://qurandansunnah.wordpress.com/2009/12/09/kisah-3-tiga-orang-terkurung-di-dalam-gua/

Tag:,

Abu sedang asyik mengerjakan soal-soal pada buku Barosn’s TOEFL saat pintu ruangan terbuka.  Wajah Pak Ijai muncul dengan senyum ramah khas beliau.  Pak Ijai mengucapkan salam dan Abu menjawabnya sambil tersenyum lebar.

“Wah, asyik benar bukunya.”kata Pak Ijai cerah sambil meletakkan tas punggungnya di bawah meja yang ada di pojok perpustakaan itu.  Matanya melirik ke buku yang sedang Abu baca “ Sudah sampai materi apa?”

“Latihan soal-soal komprehensif, Pak.” Jawab Abu sambil memperhatikan Pak Ijai.  Beliau sekarang sedang mengambil bawaan dari dalam tas nya dan meletakkannya dengan rapi di atas meja.  Merasa tak ada yang penting untuk dibahas, Abu kembali menekuni bukunya.

Saat ini Abu sedang asyik-asyiknya menekuni buku persiapan TOEFL karya penulis bestseller tersebut sejak seminggu lalu.  Buku ini memang sangat lengkap cakupannya.  Dilengkapi dengan compact disk yang berisi beragam contoh percakapan dalam bahasa Inggris, buku ini sangat layak dijadikan mereka yang ingin meningkatkan kemampuannya berbahasa Inggris baik secara lisan dan tulisan.

Abu sendiri merasa kemampuan berbahasa Inggrisnya meningkat cukup pesat sejak secara intensif mempelajarinya.  Dari hasil latihan yang ada di buku ini, baik pada masing-masing bab dan sub bab serta latihan secara komperehensif, persentase keberhasilan jawabannya meningkat secara signifikan.

Bukan hanya itu.  Tempat ini memungkinkannya untuk membaca buku-buku bermutu yang jika ia beli sendiri harganya mahal sekali.  Dulu, saat ia sibuk sebagai pemegang uang muka, sepertinya waktu tak cukup memungkinkannya untuk membaca buku-buku itu dengan leluasa.  Tapi sejak seminggu lalu, ruangan ini benar-benar menjadi tempat yang mampu memanjakannya sebagai maniak buku.  Setidaknya dia merasa terhibur setelah perkembangan kasusnya sempat membuatnya kembali kehilangan semangat.

Sejak peristiwa sumpah atasan  langsung Abu sebulan lalu, kasus akhirnya menyimpul pada keputusan akhir. Benar bahwa polisi dan pimpinan kantor tidak menemukan bukti dan tanda bahwa Abu mengambil dan menggunakannya tanpa hak.  Namun mereka juga tak mampu menemukan bukti yang kuat bahwa atasan Abu lah pelakunya, atau orang lain, meski hasil pemeriksaan selama ini mengindikasikan ke arah sana.  Apalagi, orang itu juga sudah bersumpah bahwa dia pelakunya dan tuduhan berhenti begitu saja.

Harus ada keputusan karena bagaimana pun, kerugian negara telah terjadi.  Karena Abu adalah orang yang bertanggung jawab atas uang itu, suka tidak suka dia harus menanggung kerugian itu.  Akhirnya, sesuai perkiraan semula, Abu diharuskan mengganti kerugian atas uang yang hilang tersebut dengan mencicil senilai sepertiga gajinya selama 10 tahun.

Abu pasrah.  Dia percaya, semua ketentuan sudah digariskan-Nya untuknya dan Dia pasti Maha Tahu akan kemampuan hamba-Nya.  Sedikitpun Abu tidak ingin menghindari tanggung jawab yang melekat padanya.  Dia yakin bahwa rizki seseorang sudah ditetapkan oleh Yang Maha Mengatur.  Kalau itu rizkinya maka Abu yakin bahwa ia akan mendapat ganti yang sepadan, dan apabila itu bukan rizkinya maka bagi Alloh mudah saja untuk mengambil darinya.  Bahkan dia merasa, keputusan ini jauh lebih ringan rasanya dibandingkan saat pertama kali dia kehilangan uang.  Abu merasakan dukungan orang-orang di kantornya yang percaya bahwa dia tidak bersalah.  Dia sangat bersyukur bahwa dia mampu menerima hukuman ini lebih ringan dari dugaannya semula.

Ujian berikutnya mulai berdatangan.  Abu dipindahkan ke perpustakaan tempat yang dianggap pembuangan bagi pegawai yang mendapatkan hukuman dari kepala kantor.  Tak ada pegawai yang secara suka rela memilih tempat itu.  Tak ada menariknya, apalagi dari sisi finansial.

“Sabar , Mas.” Kata Pak Ijai yang sudah setahun ditempatkan di perpustakaan.  Sama seperti Abu, Pak Ijai juga pegawai yang dianggap bermasalah dan layak ditempatkan di perpustakaan.

“Di sini ada buku-buku bagus.  Kamu bisa belajar dengan tenang.  Tak banyak orang datang.”

Abu setuju.  Ujian selama ini telah mengembalikan keyakinannya bahwa ruangan ini memang sudah disediakan oleh Alloh sebagai tempatnya memperbaiki diri.  Setidaknya dia akan punya banyak waktu untuk meneruskan kegemarannya membaca dan meningkatkan kemampuan akademisnya.

Dan seperti kata Pak Ijai, Abu segera saja mampu menemukan buku-buku berkualitas yang dimaksud beliau.  Bahkan buku Baron’s TOEFEL lengkap dengan kasetnya pun ada.  Maka, Abu pun memulai hari-hari di perpustakaan dengan belajar TOEFL dan buku-buku lain yang dia sukai.  Sepinya perpustakaan tak membuat bosan, bahkan ia semakin mampu fokus meningkatkan kemampuannya berbahasa Inggris sekaligus hobinya.  Dia yakin akan ada manfaatnya di masa mendatang.

Bagi Abu, saat ini yang paling penting baginya adalah menyelamatkan semangat hidupnya yang nyaris runtuh.  Dan melalui buku-buku ini, Abu segera saja mampu menemukan cara untuk  bangkit dari keterpurukan.  Meski Abu sadar, sebentar lagi akan makin banyak ujian yang mendatanginya.

***

Di awal bulan berikutnya, pemotongan sepertiga gajinya untuk mengganti uang yang hilang di brangkas mulai berlaku.  Selama sepuluh tahun ke depan sejumlah nominal itu akan harus berkurang dari nafkah yang selama ini ia terima.  Alhamdulillah, ia merasa memiliki sandaran dan penopang yang sangat kuat.  Abu bersyukur memiliki istri yang dengan sangat sabar menerima hal itu.  Tak sekalipun  Dewi, istrinya, menyalahkan Abu atas apa yang terjadi, termasuk berkurangnya uang belanja yang dibawa pulang.

Atas pemotongan itu, istrinya menyikapinya dengan bijaksana.  Dia memotong anggaran belanja rumah tangga dengan mengutamakan yang dianggap prioritas.  Yang dapat dihemat akan dikurangi.  Puteri sulungnya yang belum cukup setahun ikut prihatin karena jatah susunya dipotong.

Namun kondisi ekonomi rumah tangganya yang memburuk mau tidak mau membuat Abu berpikir keras untuk mengatasinya.  Abu berusaha mencari-cari celah untuk menambah penghasilan.  Satu jalan ditemui.

Beberapa pegawai di kantor senang membaca majalah Hidayah, sebuah majalah yang banyak berisi kisah-kisah orang baik ataupun jahat yang dapat diambil pelajaran.   Abu selalu menyempatkan diri membeli majalah itu di lapangan Banteng Jakarta Pusat dengan harga grosir dan menjualnya kepada teman-temannya.  Memang tak seberapa, namun bagi Abu jumlah itu sangat berharga.

Pada saat-saat tertentu, di kampus tempat Abu kuliah dulu menyelenggarakan ujian baik ujian tengah semester maupun akhir semester.  Bersama teman-teman lain yang bersedia dan dengan seijin atasannya, Abu ikut menjadi tenaga pengawas ujian.  Lumayan honoraiumnya, setidaknya dapat digunakan menambal kekurangan belanjanya.

Meski masih harus berjuang keras melewati hari-harinya yang berat, Abu yakin  semua akan berlalu dan keluarganya mampu melewati semuanya dengan baik.  Abu ingat pepatah Inggris yang ia hafal luar kepala. Every cloud has a silver line.

Meski awan itu saat ini masih hitam berarak, tapi ia selalu bergaris perak. Warna yang menjadi tanda harapannya.

*****

Hari masih berkabut meski matahari sudah seharusnya muncul.  Gunung Tidar seolah menambahkan kebekuan karena hanya sedikit pucuknya yang terlihat.  Selebihnya bagian kabut yang menyelimutinya termasuk kota yang di bawah kakinya ini.

Aip merapikan jaketnya.  Meski hanya diboncengkan di belakang, berada di atas sepeda motor dengan kecepatan sedang sudah membuat Aip yang tanpa memakai pakaian rangkap dan tebal merasa kedinginan.  Kabut kiriman dari Gunung Tidar dan juga pegunungan sekitarnya membuat udara kota ini terasa semakin sejuk. Apalagi bagi Aip yang terbiasa dengan udara Jakarta yang panas.  Tapi nampaknya, penduduk kota ini berwajah cerah semua.  Senyum ramah menghiasi bibir mereka setiap kali mereka saling bertatap muka.

Pantas saja Abu merasa betah tinggal di sini.

Aip memandang Abu yang sedang memboncengkannya. Seperti biasa, sahabatnya itu mengendarai motornya dengan pelan dan tenang yang bagi Aip, kendaraan berjalan sangat pelan. Abu nampak betah tinggal di sini. Juga keluarganya, istri dan ketiga anaknya.

“Sepertinya kamu sudah melupakan Jakarta, ya?” Aip membuka kebekuan pagi itu dengan pertanyaan ringan.  Dari kaca spion, Aip melihat Abu tersenyum tipis.

“Sudah tak ada yang menarik lagi di sana?” Aip terus menggoda Abu dengan pertanyaan yang sama.

Lagi-lagi Abu tersenyum.  Namun dia tetap fokus dengan sepeda motornya.  Tak berapa lama kemudian, Abu membelokkan kendaraannya pada sebuah tanah kosong.  Ada rerimbunan pepohonan dan Abu menghentikan motornya di sana.

“Di sini kita lebih mudah menunggu bus yang ke arah Sukoharjo.  Nanti dari sana kamu tinggal meneruskan ke Solo.” Kata Abu seolah mengabaikan pertanyaan iseng Aip barusan.

Aip mengangguk.  Tempat ini memang nyaman untuk tempat menunggu bus.  Dari jauh kondektur bus akan dapat mengenali calon penumpangnya apalagi jika dengan lambaian tanda menumpang.

Mereka duduk pada bangku kayu panjang yang ada di situ.  Sambil merapikan tas punggungnya, Aip tak mengalihkan perhatian pada bis yang ditunggunya.

Abu ikut melongok ke arah datang nya bus.  Belum ada tanda-tanda bus yang mendekat.

“Kamu tahu?” Sambil kembali duduk, Abu mengajukan pertanyaan pada Aip.  Tapi bukan untuk dijawab karena Abu kemudian meneruskannya sendiri.

“Betapa nyamannya berkendaraan apa saja di kota ini bukan? Mau angkot, mau bus besar atau naik kendaraan pribadi hampir tak ada bedanya. Tak ada macet seperti Jakarta yang membuat kita pusing memikirkan cara agar bisa sampai ke tujuan. ”Berhenti sebentar, Abu memandang Aip.

“Belum harga-harga. Mau makanan, pakaian, bahkan rumah.  Istriku memilih untuk mengambil rumah di sini meski sudah kukatakan bahwa sewaktu-waktu saya kan dipindah.”

Aip tersenyum menanggapi. Tentu saja ia harus setuju.  Tak ada yang tak mau tinggal di kota ini.  Semua pegawai di kantor Abu yang Aip temui kemarin menyiratkan itu.

Tiba-tiba Aip tercenung. Dengan perasaan bercampur aduk antara terharu dan bahagia, Aip kembali menatap Abu. Agak lama.

Aip merasa bersyukur melihat Abu sekarang. Setelah beberapa tahun berpisah, nampaknya ia melihat sahabatnya ini dalam kondisi terbaik. Apalagi dibandingkan dengan saat-saat tersulit itu.  Betapa waktu mudah mengubah nasib seseorang.

Setelah kasus hilangnya uang di brangkas, pemotongan gaji dan pemindahan di perpustakaan, akhirnya Abu mendapatkan kabar yang lebih baik.  Dia dipindah ke kantor yang sangat dekat dengan rumahnya.  Tepatnya kampus, karena kantor Abu yang baru adalah sebuah kampus sekolah ikatan dinas yang banyak menghasilkan para akuntan, ajun akuntan, dan tenaga keuangan negara yang handal.

Tempat itu juga menjadi tempat yang ideal untuk melupakan kejadian pahit itu.  Abu sangat menikmati pekerjaan barunya.  Ada dua pekerjaan yang ia lakukan. Pertama, pekerjaan administratif melayani mahasiswa dan dosen.  Yang kedua, dan ini tantangan bagi Abu, adalah menjadi asisten dosen khususnya untuk mata kuliah terkait akuntansi untuk tingkat diploma.

Masalah finansial mulai tertutupi.  Honorarium mengajar bulanannya sudah cukup menutupi kebutuhan belanjanya.  Ia juga lebih mampu menghemat karena lokasi kantornya yang dekat, ia tak perlu mengeluarkan ongkos transport yang besar.  Bahkan ia tak perlu makan di luar, karena pada masa istirahat siang pun, ia bisa menghabiskan waktunya makan siang bersama di rumah kecuali saat-saat sibuk.

Dan akhirnya, awan yang dulu hitam mulai berganti warna karena warna peraknya mulai dominan sebelum langit memenuhinya dengan warna biru. Dua tahun setelah kepindahannya, Abu mendapatkan kesempatan mengikuti tes melanjutkan ke jenjang magister.  Benar kata Pak Ijay, teman baiknya di perpustakaan dulu, bahwa pasti ada manfaat dari sebuah ilmu.  Abu semakin yakin dengan hal itu.

Peningkatan pesat kemampuan berbahasa Inggrisnya sangat membantunya lolos saringan dan dengan lancar akhirnya Abu mampu menginjakkan kaki di Hiroshima untuk melanjutkan studinya. Kemampuannya itu juga sangat membantunya memahami mata kuliah yang diajarkan serta komunikasi baik dengan sesama mahasiswa maupun dosen.

Abu tak mau berlama-lama.  Meski dia juga mendapatkan tambahan uang saku yang sangat lumayan jumlahnya, namun gelar magister tetaplah prioritas utama. Dengan kerja keras dan kesabaran, akhirnya Abu meraih hasil gemilang.

Abu lulus dengan nilai Indeks Prestasi Kumulatif sempurna, 4.

Dan garis perak awan yang kini berganti warna biru langit itu kian mengarahkan jalannya menuju kemudahan hidup.  Dengan  jabatan promosi barunya, Abu ditempatkan pada kantor favorit para pegawai di sebuah kota kecil yang sejuk dan jauh dari kebisingan. Di kota yang sekarang Aip akan meninggalkannya.

Abu masih seperti dulu. Aip tak menemukan perubahan sifat pada sahabat baiknya itu. Tetap rendah hati dan murah senyum.  Itu hal utama yang Aip syukuri.  Ia tak kehilangan sahabat yang tetap baik hati dan selalu optimis.  Sama seperti Abu yang tak pernah kehilangan harapan.

Bus yang ke arah Sukoharjo sudah datang.  Aip memeluk sahabatnya itu erat-erat.

“Aku tak berharap kamu kembali ke Jakarta, namun aku berharap kamu selalu menyisakan waktumu untuk kami. Bowo juga menunggumu.” Kata Aip menutup perpisahan mereka.  Abu membalasnya dengan pelukan hangat dan jabatan lebih erat.

Aip melambaikan tangan.  Dan seperti dulu juga, Abu membalaskan dengan senyum dan ketenangan yang luar biasa. Sampai lambaian tangannya mengecil dan menghilang di kejauhan.

Tiba-tiba Aip teringat. Ada hal yang lupa ia sampaikan kepada Abu.  Perasaan bersalahnya dulu. Meski itu hanya menurut perasaannya saja namun Aip merasa dirinya turut menyebabkan Abu tertimpa masalah itu.

Aip teringat saat malam itu, saat Handa  bertanya padanya.

“Memang Mas bersalah apa kepada Abu?”

Lalu Aip menceritakan kisah kecil yang belum pernah ia paparkan pada orang lain.  Beberapa hari sebelum kejadian hilangnya uang di brangkas, Abu mampir ke tempat Aip saat pulang kantor. Saat Sholat Isya, sebagaimana biasa mereka sholat di mushola dekat rumah Aip. Abu meninggalkan tas kerjanya di ruang tamu.

Aip ingat, saat tiba kembali di rumah Aip, Abu langsung memeriksa tas nya lalu mengambil sebuah amplop putih dari dalamnya. Dibukanya amplop yang tak tertutup itu dan dihitungnya lembaran uang yang terlihat Aip yang saat itu ada di dekatnya.  Setelah terlihat tak ada yang berkurang, Abu memasukkan kembali amplop itu ke dalam tas.

Entahlah, Aip tak tahu apakah dirinya yang berlebihan saat ia merasakan hatinya tersinggung melihat yang dilakukan sahabatnya itu. Dirinya tak terima seolah dituduh mengambil uang itu, meski pun tak dikatakan. Aip ingat, yang kemudian Aip sesali setelah kejadian hilangnya uang di brangkas, hatinya seperti berdoa agar sahabatnya itu diberikan pelajaran agar berhati-hati bersikap.

Aip percaya bahwa kejadian yang menimpa Abu sudah merupakan takdir meskipun dirinya tak mampu menutupi perasaan bersalahnya.  Terlebih dia belum sempat meminta maaf pada Abu, meskipun itu sebatas kata hati yang terlintas.

Tapi Aip berharap dirinya mampu menemukan cara mengungkapkan penyesalannya.  Tak secara langsung tapi dapat dipahami.

Dan saat kisah ini selesai diceritakan, Aip ingin Abu tuntas membacanya dan tahu kesalahan Aip.

Aip tinggal berharap Abu mau memaafkannya.

Abu menatap tajam wajah di depan matanya.  Sesekali arah matanya tertuju pada Yunus yang bahasa mata dan tubuhnya mengisyaratkan agar Abu tidak ragu-ragu lagi bertindak.  Tapi Abu masih bergeming. Dia mencoba mengatur nafas agar tidak terlihat gugup.Sementara itu, wajah di depannya nampak polos dan penuh percaya diri.  Mungkin dia tidak tahu apa yang Abu rasakan dan akan lakukan.

Abu menunduk dan memejamkan matanya.  Berat sekali rasanya.  Padahal ia telah mengumpulkan kekuatan ini berhari-hari sebelum akhirnya ia mengambil keputusan berani cenderung nekad ini.  Dia lelah dengan perkembangan kasus yang seolah membeku tak berujung.  Tapi memecahkan kebuntuan untuk segera bersikap berani di depan sosok yang sangat dekat dengannya ini membuat Abu penuh dihinggapi rasa ragu.

Padahal dia sadar, perkembangan kasus yang nyaris memasuki usia bulan sejak dia mengalami nasib tak mengenakkan di ruang sel di dekatnya berada kini telah membuat hidupnya dalam ketidakpastian.  Berhasil keluar dari tuduhan Yunus dan Haryadi bukan berarti masalah selesai begitu saja.Selain Abu harus berhasil membuktikan bahwa dia bukanlah aktor dibalik hilangnya uang dalam brangkas itu, dia juga harus mampu menunjukkan siapa sesungguhnya yang mengambil uang tersebut.

Berbulan-bulan dia mengerahkan segala upaya dan mengalami kelelahan yang luar biasa.  Luar dan dalam.  Setelah sedikit demi sedikit dia bangkit dari keterpurukannya, mengambil langkah untuk membuktikan bahwa dia bukanlah pengambil uang itu, akhirnya seolah alam sekitarnya membantu memudahkan menemukan pelaku yang sesungguhnya.  Sosok yang kini ada dihadapannya.   Meski untuk itu ia harus mendapatkan kepastian dari yang bersangkutan sendiri.

Melihat sosok itu, Abu rasanya seperti dilempar kembali ke masa-masa sulit itu.  Serpihan peristiwa yang ia alami seolah menari kembali untuk ia amati kembali sebelum ia mengambil keputusan besar ini.  Kali ini ia seperti melihat dirinya berada di masa itu, saat dia harus berjuang menemukan kepercayaan dirinya setelah sempat hancur dalam sehari menghadapi Yunus dan Haryadi.

*****

Setelah polisi tidak menemukan tanda-tanda keterlibatan orang-orang yang dicurigai, kepala kantor menekan atasan Abu untuk segera mengungkap pelaku pencurian orang di brankas.  Atasan Abu akhirnya menempuh jalur alternatif, yaitu dengan mendatangi “orang pintar” di Banten.Menurut hasil penerawangan orang pintar itu, pelakunya dua orang, satu bertubuh atletis masih muda dan satu lagi berambut putih.Berdasarkan hal itu, menurut atasan Abu, sosok pertama mengarah kepada petugas keamaan yang berjaga malam itu, sedangkan kedua adalah salah satu pegawai senior yang pada malam kejadian tersebut itu pulang hingga larut malam.Keduanya belum diperiksa polisi.

Pada kesempatan lain, atasan Abu memanggil “orang pintar” tersebut ke kantor. Orang itu memakai baju dan celana hitam, dengan ikat kepala warna hitam juga.  Dia menaburkan garam di dalam brankas.

“Orang yang mengambil uang akan merasakan sakit yang luar biasa dan akhirnya mengaku,” demikian kata atasan Abu meneruskan penjelasan orang itu.

Sehari kemudian, atasan Abu membawa air keramat ke kantor. “Ini air dari orang pintar.  Jika diminum oleh orang yang bersalah akan menimbulkan reaksi luar biasa” demikian penjelasannya. Orang-orang yang dicurigai dikumpulkan, termasuk Abu. Ternyata Abu yang mendapat giliran pertama. Abu merasa agak khawatir.  Abu berpikir jangan-jangan air itu sudah sudah dijampi-jampi dan diarahkan kepadanya.

“Bismillah.  Ya Alloh, lindungi aku dari mantra-mantra yang ditiupkan pada air ini” doa Abu sebelum meminumnya.

Abu tidak menyangka rasanya asin sekali padahal menurut perkiraannya, air keramat seharusnya terasa tawar.  Alhamdulillah tidak ada reaksi apa pun, minimal untuk saat itu. Terus terang Abu takut terjadi reaksi tertentu pada badannya tanpa jelas penyebabnya.  Abu khawatir, orang kemudian curiga kepadanya.  Belakangan Abu tahu ternyata orang berambut putih yang masuk dalam terawangan orang pintar menderita hipertensi.

“Mungkin dia yang menjadi target” pikir Abu dalam hati.

Sayang sekali pada hari itu pegawai berambut putih itu tidak masuk kantor karena sakit.  Menurut kabarnya, tensinya naik karena emosnya meninggi setelah mengetahui dirinya dicurigai oleh atasan Abu.  Kondisi orang itu memang kurang menguntungkan.  Teman-taman dekatnya mengetahui bahwa orang itu sedang perlu uang dan pada malam itu memang pulang terakhir kali.

Sementara itu, Abu terpikir hal lain terkait permasalahan yang membelitnya kini.  Dia merasa ada hal yang tidak wajar pada dirinya menjelang hilangnya uang di brankas.  Abu merasakan amalan ibadahnya menurun drastis sejak tiga minggu sebelum kejadian.  Abu berpikir jangan-jangan ada orang yang “mengerjai” nya.  Kelengahannya tidak mengunci brankas pada hari itu semakin menguatkan dugaannya.Kondisi normalnya tidak seperti itu.Abu memang pernah lupa tidak mengunci brankas pada waktu uang di dalamnya cuma sedikit.  Ketika uang di brankas banyak, biasanya dia akan lebih waspada untuk memastikan brankas sudah dikunci sebelum pulang.

*****

Abu masih memandangi wajah yang terlihat polos dan percaya diri di depannya. Tak terlihat kekhawatiran sama sekali. Abu menjadi sedikit gamang. Namun bukti yang telah ia kumpulkan serta kecurigaannya pada sosok di depannya itu yang muncul sejak awal bergulirnya kasus ini membuatnya untuk tetap pada putusannya. Abu ingat, ada yang tak wajar yang ia rasakan saat  sosok di depannya ini mengetahui uang di brangkas hilang. Ketika orang ini tahu uang hilang, reaksinya tak seperti yang Abu bayangkan.  Terlalu biasa untuk seorang yang juga bertanggung jawab atas uang tersebut. Tak ada berondongan pertanyaan yang Abu bayangkan akan diajukannya tak ada sama sekali.  Abu merasa, untuk kehilangan uang sejumlah ratusan juta, reaksinya seharusnya jauh lebih besar dari pada yang Abu tangkap.

Abu mendatangi satpam yang berjaga pada hari itu, Dudi dan Ganot, untuk menanyakan waktu kedatangan semua orang yang datang lebih awal darinya pada hari kejadian itu. Orang-orang dalam ruangannya, termasuk orang yang kini dihadapannya itu juga.

“Dia datang jam 6.15 mas,” kata mereka.

Teman sekantornya memberikan informasi tambahan.  Pada pagi itu, temannya itu sempat bermain tenis meja sekitar jam 7 dengannya.  Jelas ada jeda waktu yang dapat memungkinkan orang itu melihat ruangan dan melakukan sesuatu dengan brangkas.

Abu melanjutkan pencarian informasinya dengan menemui seorang pegawai senior di masjid kantor pusat yang letaknya berdekatan dengan lokasi kantor Abu.  Pegawai itu dikabarkan pernah berurusan dengan orang yang ia curigai tersebut. Abu bermaksud mengonfirmasikannya.

“Saya yakin dia pelakunya , mas.” Kata pak Tommik, pegawai senior tersebut dengan muka yang menyiratkan kegeraman.

“Dulu,” Pak Tommik melanjutkan,”saya sekantor dengannya di Cirebon. Dia yang melakukan kesalahan, tapi dia menfitnah saya yang melakukan. Ia pernah terlibat penggelapan uang.  Main dukun juga”

“Saya yakin dia yang melakukan, “ tuduh Pak Tommik tanpa ragu-ragu.

Abu beberkan semua hasil penyelidikannya kepada kepala kantor yang sebelumnya memercayai Abu untuk menyelidiki orang itu, meski orang itu bawahan beliau juga.  Selanjutnya beliau meminta tiga orang pejabat yang bertugas melakukan penyelidikan untuk memeriksa ulang orang-orang yang dicurigai.  Abu, petugas kebersihan, petugas keamanan diperiksa sekali lagi.  Selanjutnya orang itu.

Para pejabat penyelidik itu sepakat dengan Abu tentang kecurigaannya.  Akhirnya kepala kantor meminta agar orang itu diperiksa di kantor polisi.  Abu mendengar dari Pak Basuni, salah seorang kepala bidang yang paling senior dan dekat dengan Abu, bahwa polisi juga setuju bahwa orang itu terlibat, sama dengan hasil penyelidikan tim kantor.  Namun karena polisi tidak mendapatkan bukti yang cukup dan juga tidak mendapatkan saksi sehingga mereka tak dapat menyimpulkan bahwa orang itu pelakunya.

Abu sendiri melihat wajah orang itu terlihat kuyu. Kepala kantor dan tim terus menyudutkan beliau. Salah seorang tim berkata kepada Abu,“Mas, sebentar lagi ia tumbang.” Abu sepakat. Kegelisahannya sangat terlihat pada raut muka dan tindakannya.

Tapi rupanya waktu terus berputar dengan membawa perputaran nasib manusia dan segala kejutannya.

Salah satu kejutan itu adalah pengunduran diri Ganot, sekuriti kantor,  yang secara langsung dituduh oleh orang itu.  Dia bermaksud kembali ke kampungnya setelah tak tahan dengan tuduhan itu.  Kepala kantor tak mau melepaskannya begitu saja.  Seminggu setelah kepulangnya, beliau menugaskan salah satu kepala seksi di kantor Abu untuk mendatangi kampung Ganot di Wonosobo untuk menyelidiki dan mencari bukti-bukti keterlibatannya dalam pencurian uang di brangkas.  Hasilnya nihil.

Abu mesti harus bersabar.  Titik terang belum muncul, pelaku sesungguhnya belum ketemu meski arah tuduhan sudah semakin terang.  Artinya, dia tetap dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab atas hilangnya uang itu meski secara jelas dia tidak sengaja menghilangkan.  Terlebih saat bulik istrinya memberi kabar yang cukup mengejutkan saat Abu datang memenuhi permintaan beliau dengan diantar bapak mertuanya.

“Mas, kemarin ada empat orang kantormu datang kesini. Ada atasanmu juga.  Mereka minta Bulik untuk membujukmu mengembalikan uangnya.” Abu sempat ternganga.  Orang kantor ternyata masih mencurigai Abu.  Mereka masih menyelidiki dirinya tanpa sepengetahuannya.

“Lalu apa yang Bulik katakan?” tanya Abu

“ Ya Bulik sempat naik darah juga.  Bulik tahu siapa kamu. Kukatakan sama mereka bahwa kamu sudah kos di tempat bulik selama dua tahun. Karena Bulik mengenalmu dengan baik maka saya jodohkan kamu dengan keponakanku.  Saya bilang ke mereka dengan tegas bahwa tidak mungkin kamu yang mengambilnya.” Bulik Marmi dengan bersemangat kembali bercerita.

Abu tertunduk. Bagaimana pun mereka masih mengarahkan tuduhan itu padanya. Selama belum ada pelaku sesungguhnya, tuduhan itu tak akan berhenti.  Harus ada upaya sampai dia bisa melepaskan diri dari tuduhan itu.  Abu mengungkapkan perasaannya pada buliknya yang sudah setengah baya namun masih terlihat sehat dan enerjik itu.

“Apa nggak dicoba untuk ke orang pintar saja, Mas?”Bulik Marmi memberikan usul.  Abu cukup kaget dengan usulan itu.  Hatinya menolak namun di hadapan buliknya dia hanya bisa diam.

“Bulik kenal orang pintar yang ‘bener’ di Grogol,”kata bulik melanjutkan.”Nanti paling kamu diminta solat tahajud.  Minta tolong Bapakmu saja untuk di antar ke sana.” Pandangan Bulik Marmi menuju ke mertua Abu yang hari itu mendampinginya.

Abu terdiam.  Sebenarnya ia enggan melakukan usulan buliknya itu.  Bagaimana pun hatinya menolak untuk mendatangi orang pintar, meskipun orang memanggilnya ustadz.  Tapi ketika dia menoleh ke arah bapak mertuanya, pandangan mata beliau mengisyaratkan untuk pergi.

“Iya, le. Bapak akan antar,’kata bapak mertuanya sebelum Abu sempat bicara.  Abu hanya terdiam. Dia tak mampu memutuskan lain.

****

Akhirnya bapak mertua Abu memboncengkannya ke Grogol dengan menggunakan motor dinasnya yang biasa dia pakai pulang pergi ke kantor.  Rumahnya agak masuk ke dalam sehingga untuk menemukannya mereka harus bertanya pada ibu-ibu yang ada di tepi jalan.

Yang didatanginya adalah seorang bapak yang sudah berumur 50 tahunan.  Namanya Pak Joyo.  Penampilannya sederhana dengan badan agak gemuk.  Bayangan sosok dukun atau tukang ramal meleset saat pertama kali orang melihatnya.

Abu menceritakan masalahnya.  Semuanya, hingga hal-hal yang tak pernah Abu ceritakan pada keluarganya, termasuk bapak mertuanya. Padahal dulu, sebelum ada masalah seperti ini, Abu paling rajin menceritakan permasalahan kantor meski bukan hal-hal yang rahasia.  Abu dan bapak mertuanya menunggu sekitar 10 menit dalam kebisuan ketika Pak Joyo muncul kembali.  Tanpa basa-basi dia mengatakan hal yang mengejutkan sekaligus menyenangkan Abu.

“Orangnya gemuk, berkumis, dan rambutnya rapi.”kata Pak Joyo. Padahal Abu tak menceritakan detail sosok orang yang dicurigainya itu.  Abu menjadi senang, merasa semakin yakin dengan perkiraannya semula.

Pagi itu dia ke polsek untuk menemui Yunus. Komentar Yunus cukup membuat Abu tercenung karena apa yang dikatakannya tak salah.

“Barang siapa mendatangi dukun maka amalannya selama 40 hari tidak diterima oleh Alloh” komentar  Yunus setelah Abu menceritakan kunjungannya ke Grogol itu. Seketika Abu tercenung. Dia tak menyangka, polisi itu berkomentar dengan cukup terus terang dan benar adanya.

”Lagi pula,” lanjut Yunus,”perkataan orang pintar hanya dapat digunakan sebagai petunjuk awal, tapi tak berarti apa-apa sebagai alat bukti.”

Abu hanya terdiam. Di dalam hatinya ia menyesali kedatangannya ke Pak Joyo meski itu sudah terjadi.  Ia beristighfar dalam hati.  Ia merasa telah melakukan kesalahan besar dalam hidupnya, meskipun itu atas arahan keluarganya.

Selanjutnya, Yunus menawarkan suatu strategi kepadanya untuk menemukan pelaku yang sesungguhnya.  Ide yang sangat berat baginya.  Sama sekali bertentangan dengan kepribadiannya.

Untuk meringankan bebannya, sepulang dari kantor, Abu mampir ke rumah Aip.  Sahabatnya itu malah yang terlihat semangat.

“Kalau polisi menawarkan cara seperti itu, menurutku, ikuti saja.  Ini kesempatan bagimu untuk mengungkap pelakunya” kata Aip. Namun Abu mlihat keraguan di wajah Aip.  Abu tahu Aip memahaminya seperti ia sendiri memahami sahabatnya itu.  Aip tahu kelemahan Abu untuk melakukan arahan Yunus.

“Tapi kamu harus menguatkan hatimu,”kata Aip menambahkan. “Saya hanya bisa mendoakan yang terbaik buatmu,”

Abu mengangguk.

Masalahnya, orang yang Abu curigai, yang muncul setelah ia merangkaikan satu kejadian dengan kejadian yang lain adalah orang yang sangat dekat dengan Abu.  Sebelum dia kasus ini, di luar urusan kantor hubungan mereka sangat akrab.  Tak sekedar hubungan formal pegawai di kantor.  Abu sangat menghormatinya dan orang itu juga menyayangi Abu.

Beberapa kali orang itu minta tolong diurut badannya karena dia tahu Abu cukup menguasai ilmu urut.  Pijatannya cukup enak.  Abu melakukannya dengan senang hati tanpa menganggap hal itu sebagai kehinaan karena rasa hormat Abu kepadanya.  Rasa sayang Abu kepadanya seperti kepada orang tuanya sendiri.  Orang-orang sekantor sudah mengetahuinya.

Perlu beberapa hari bagi Abu untuk menimbang dan memikirkan semua hal terkait keputusannya ini.  Dia harus memikirkan akibat tindakan yang akan dilakukannya itu.  Akibat baik atau buruk, apakah dilakukan atau tidak.

Akhirnya Abu memutuskan untuk melakukan hal yang disarankan Yunus.  Abu menanyakan kepada polisi yang sesungguhnya baik hati itu kapan waktunya.  Kemudian, Yunus menghubungi orang itu untuk datang ke polsek.

Abu datang lebih awal di polsek.  Yunus nampak sudah siap.  Orang yang ditunggunya datang sepuluh menit kemudian.  Setelah menyilahkan orang itu duduk, Yunus berkata kepadaku.

“Mas Abu, silahkan jika ada yang mau kamu sampaikan tentang uang yang hilang di brangkas.”

Saat seperti inilah yang  Abu rasakan paling berat.  Orang yang sangat dekat dengannya selama ini, atasan langsungnya sendiri, hari ini dan mungkin seterusnya akan menjadi dua orang yang berjauhan.  Mungkin dia akan membenci Abu seumur hidupnya.  Tapi bagaimana pun, ini menyangkut nasibnya.  Bukti yang telah ia kumpulkan selama ini mengarahkan kepada sosok di depannya ini.  Mau tak mau, terpaksa atau sukarela.  Meski dengan dada bergemuruh, Abu mengumpulkan segenap kekuatan hatinya untuk bicara.  Dengan diawali basmalah, Abu berbicara dengan wajah menghadap lurus ke atasannya.

“ Sebenarnya saya mencurigai Bapak yang mengambil uang itu!” katanya dengan suara bergetar.

Abu menunggu reaksi atasannya itu. Dia membayangkan atasannya tidak menerima tuduhannya dan sangat marah kepadanya.  Namun berbekal keyakinan dan fakta yang telah ia kumpulkan selama ini, Abu yakin akan memapu menyudutkannya dan membuatnya mengaku.

Yang Abu bayangkan benar adanya.  Atasannya nampak terkejut dengan tuduhan itu.  Wajahnya tak mampu menyembunyikan keterkejutannya.  Namun reaksinya berbeda sama sekali dengan yang Abu bayangkan dan justru membuat Abu lebih terkejut lagi.  Dengan suara mantab dan wajah percaya diri, atasannya menjawab.

“Demi Alloh, demi Rasululloh.  Aku tidak mengambilnya” demikian atasannya menjawab dengan mantap.

Waktu seperti berhenti.  Suara sunyi.  Segala gerak nyaris lumpuh, termasuk semua rencana yang telah Abu kumpulkan selama seminggu ini.  Jawaban itu seperti sihir yang melenyapkan semua perbendaharaan kata-kata Abu.  Pikirannya menjadi kosong.  Keadaan justru berbalik.  Abu yang memang lembut hatinya langsung merasa bersalah atas tuduhannya.

Akhirnya pertemuan pagi itu diakhiri dengan permintaan maaf Abu pada atasannya.

Abu merasa sangat lelah. Rasa bersalah baik atas tuduhan yang nyatanya mampu ditepis dengan sumpah yang tegas serta kesalahan tindakannya yang mengunjungi Pak Joyo membuatnya merasa tanpa daya.  Jika Abu tak ingat bahwa ini semua sudah skenario Alloh, mungkin dia akan menyalahkan orang lain.

Tapi saat mengingat sangka baiknya sejak awal bahwa ini semua adalah kesengajaan-Nya, dia kembali menyabarkan dirinya untuk menerima nasibnya.  Seburuk apa pun.  Sebab ia yakin ini tanda cinta-Nya.  Yang akan dia lakukan hanyalah lebih mendekatkan dirinya pada-Nya agar ia lebih mampu menangkap sinyal cinta itu.

Meski ia tak tahu kapan pahit rasa cinta ini berubah manis.

Aku diperintahkan-Nya untuk mendatangimu kembali

Setelah sore itu

Kau menitipkanku pada pengemis sebaya

dengan luka merah di kakinya

dan membiarkan anakmu meronta

Karena es krim yang lama diharapkannya

tak jadi kau belikan juga

Padahal lelaki itu tertawa-tawa

setelah berdiri gagah begitu melihatmu memunggunginya

Perbedaan-Zakat-Infaq-dan-Sedekah

Aku diperintahkan-Nya untuk mendatangimu kembali

dengan pasukan berlipat banyaknya

Untuk menjawab pertanyaan hatimu

Setelah sempat sedikit ragu

apakah ada kesempatan lagi bagimu

membahagiakan anakmu

Maka kutegaskan padamu bahwa

Dia tak pernah sedikitpun berdusta

atas segala janji-janji yang dikabarkan-Nya

Jurang mangu 19 Oktober 2014

Tag:,

Kami berdiam-diaman, selalu begitu

Masing-masing sibuk memandang gadget baru, teman baru

Sesekali kami saling melirik, lalu mata lurus kembali

Menatap entah apa kok menarik sekali

Tapi kami tahu, bukan saatnya kami membahas ini

Sebentar lagi toh kepala kami akan kembali bergerak

Menghilangkan ketegangan, lalu

Mata kami kembali beradu

Kau tahu?

Itu cara kami bicara

melebihi seribu kalimat penuh busa

Tag:

Februari 2011

Lelaki sederhana itu akhirnya beristirahat terakhir di sini, di sebuah pemakaman desa yang sederhana.  Bukan menyerah, tetapi memang saatnya beliau menghadap-Nya setelah dengan ikhlas dan pasrah menerima penyakit stroke yang digunakan Sang Khaliq untuk menguji beliau.   Setelah setahun lebih juga menjadi penguji keluarga kami, apakah kami juga mencintai beliau dengan sepenuh hati.

Kupandangi kanan kiriku.  Semua kakak kandung dan iparku , serta anak dan kemenakan-kemenakanku.  Alhamdulillah, kuucap syukur dalam hati.  Ternyata lewat kesederhanaan lelaki yang terbaring di pemakaman ini, juga ibu tentu saja, sampai saat ini kami bisa saling mencintai dan membantu.  Menjaga amanahnya yang telah diteguhkan mereka sejak jauh hari.  Menjaga perasaan cinta jauh melebihi apa pun, apalagi sekedar warisan.  Karena kata terakhir itu justru banyak membuat keluarga pecah hati.

Aku ingat, lebih dari setahun beliau bertahan dengan kesabaran sepenuh hati.  Meninggalkan keperkasaan tuanya, kesehatan dengan kesegaran tenaganya dalam mengolah sawah tanpa hambatan.  Tiba-tiba stroke merenggut semuanya, memisahkannya dari dunia yang begitu dicintainya.  Kebun dan sawah.  Bukan ajang mencari harta, tapi baginya, kebun dan sawah adalah tempat menyalurkan hobi serta saranan dia untuk berbagi.  Penyakit itu tiba-tiba datang, saat dia tengah berusaha keras mewujudkan mimpi kakakku untuk memiliki rumah sendiri.  Tanpa diminta, tapi dia dengan sepenuh hati berusaha menyenangkan anak-anaknya.

Penyakit itu menghalanginya dari melihat dunia luar, dibatasi tempat ukuran 1,5 x 2 meter.  Tempat dia menghabiskan hari-harinya tanpa bisa melakukan aktivitas favoritnya: berkebun, menggendong dan menemani cucu, serta mengisi sepertiga malamnya dengan sujud sucinya.  Aku membayangkan betapa menderitanya beliau, hidup tanpa bisa menikmati kesenangannya.  Karena itu aku maklum, saat pertama beliau terkena penyakit itu beliau sangat tersiksa.  Tapi perlahan seiring waktu, beliau mampu bertahan dengan sabar dan tanpa mengeluh.  Dan dengan kesabaran itu, beliau semakin dekat dengan ibu, yang begitu luar biasa mampu mendampingi bapak di saat-saat sulit hingga akhir hayatnya.  Bahkan kurasakan, cinta keduanya – terutama yang ditunjukkan ibu sebelum dan sesudah bapak wafat, semakin membesar meski akhirnya ibu harus kehilangan. Seperti kami juga.

Kami kehilangan bapak, panutan kami.  Pahlawan yang mampu menyatukan kami dengan kesederhanaannya.  Pelindung yang membuat kami aman.  Guru yang mengajari kami dengan kesabaran dan kesederhanaan, bertahanan dalam kesulitan hidup untuk mencapai cita-citanya.  Kebaikan beliau, yang dulu seperti buram diterpa keangkuhan kami, kini seperti film layar lebar yang ada di depan kami.  Diputar untuk mengingatkan siapa beliau.  Mengisahkan perjuangan hidupnya dan pengorbanannya untuk kami.  Menyiapkan kami untuk hidup dengan cita-cita serta mampu mengasihi sesama.  Dialah bapak tercinta kami: Muchtar Soim.

***

Bapak lahir saat republik ini masih berupa embrio.  Ketika Indonesia merdeka, beliau sudah menyelesaikan sekolah rakyatnya.  Hal yang kusyukuri, bapak mengambil jalan yang berbeda dengan teman-teman sebayanya waktu itu.  Bapak , juga kakak beliau persis di atasnya, nekad sekolah meski harus berjalan berkilo meter dan dengan sedikit teman.  Pada akhir tahun 50-an, bapak sudah menyelesaikan sekolah pendidikan guru menengah dan mulai mengajar di beberapa daerah sesuai tugas yang beliau emban.

Tahun 1963, Bapak menikahi ibu setelah sebelumnya bercerai dan meninggalkan seorang puteri – yang kelak tinggal bersama kami. Pertemuan mereka sendiri terjadi setelah perceraian itu.   Dari bapak aku pernah mendengar betapa beliau mencintai ibuku, meski usia keduanya berjarak sepuluh tahunan.  Berbekal cinta dan pengabdian, Ibu menemani bapak yang melanjutkan pendidikan untuk mencapai gelar sarjananya di Kota Malang.      Ibu sendiri mengajar di sebuah sekolah dasar Islam di kota tersebut menerusi tugas dinas karena lulus di SPGA 6 Tahun.  Kehidupan mereka menjadi sulit karena politik tahun tersebut menyebabkan satu sama lain saling mencurigai, apalagi ketika partai berhaluan kiri mulai menunjukkan hegemoni kekuasaannya dan mulai menekan kanan kiri, terutama golongan agama seperti kecenderungan orang tua kami.

Peristiwa besar 1965 menyebabkan kehidupan bertambah sulit.  Selain kehidupan politik yang semakin kacau, kehidupan ekonomi pun bertambah berat.  Inflasi besar-besaran yang menghantam Indonesia juga menerpa hebat kehidupan mereka.  Akhirnya, ibu tidak tahan dan meminta bapak untuk kembali ke kampung Bapak di Magetan.  Memenuhi permintaan Ibu, bapak menghentikan kuliahnya dan kembali ke kampung menjadi guru bersama Ibu.

Barangkali karena kegagalan itu juga yang mendasari bapak begitu menginginkan anak-anaknya untuk bersekolah setinggi-tingginya.  Persiapan itu dimulai bahkan jauh hari ketika kami masih kecil.  Karena tinggal di desa, selain menjadi guru di sebuah madrasah aliyah negeri (MAN), bapak juga bertani – pekerjaan yang sesungguhnya paling beliau sukai.  Dengan cara itu mereka mampu menambah penghasilan sekaligus menghemat pengeluaran.  Aku masih ingat, saat masih kecil, kami hampir tak pernah membeli bahan-bahan makanan kecuali untuk lauk.  Beras kami peroleh dari beras jatah, meskipun berkualitas rendah.  Sayur mayur, termasuk bumbu-bumbu dapur sudah disiapkan bapak dengan menanam pohon kelapa, dan berbagai tanaman perdu.

Namun yang tidak kami duga – dan akhirnya kami ketahui setelah dewasa, bapak dan ibu menabung sebagian besar hasil sawah untuk pendidikan kami.  Mereka mengalokasikan tabungan itu dalam bentuk sapi, pembelian sawah baik yang bersifat permanen maupun tahunan – di desa biasa terjadi sewa lahan sawah untuk ditanami dalam jangka panjang, serta perhiasan.  Kami biasa dilatih hidup apa adanya, terutama untuk makan dan pakaian, serta bekerja selayaknya anak petani seperti mencari rumput dan membantu di sawah.  Namun  untuk urusan sekolah, Bapak begitu perhatian.

Saat aku mulai memasuki SMP, Bapak dan ibu mulai menjual satu per satu harta mereka karena kedua kakak perempuanku mulai kuliah secara bersamaan sementara ketiga adiknya juga sudah memerlukan banyak biaya.  Kehidupan kami semakin prihatin, namun tidak untuk sekolah.  Satu prinsip Bapak, sekolah adalah nomor satu sehingga semua urusan terkait sekolah harus didahulukan.  Karena itu, utang bapak mulai menumpuk karena harta simpanan menipis, sementara biaya semakin membengkak.  Belum kedua kakakku tersebut menyelesaikan kuliahnya – yang salah satunya di sebuah universitas swasta yang menyedot banyak biaya, kedua kakakku yang lain sudah mulai kuliah juga.  Itu terjadi saat aku mulai naik ke kelas tiga SMA.

Kehidupan yang sulit membuat aku mulai berpikir untuk bekerja saja setelah SMA.  Tapi Bapak bersikukuh untuk tetap menguliahkan aku, meski aku tahu soal biaya mereka semakin kesulitan menutupinya.  Bahkan, saat menjelang ujian SMA, tawaran potongan 75% biaya bimbingan belajar yang kuterima karena aku termasuk lima besar uji coba UMPTN yang diselenggaran oleh lembaga bimbingan besar dari Yogyakarta harus kutolak karena mereka sama sekali tidak punya dana untuk bimbingan belajar itu.  Aku sedih, namun paham.  Saat mengucapkan itu, kulihat bapak sangat bersedih.  Tapi mau bagaimana lagi, bimbingan belajar adalah jasa mewah bagi kami saat itu dan juga bukan merupakan satu-satunya jalan untuk berhasil kuliah di PTN.  Belajar sendiri ya Rif, kata bapak.  Aku mengangguk.

Kesulitan itu membuat aku semakin semangat belajar.  Saat try out berikutnya, aku berhasil mendapatkan bimbingan belajar gratis untuk satu bulan setelah EBTANAS.  Namun sayang, aku tidak mengetahui saat diadakan try out persiapan masuk sebuah sekolah tinggi akuntansi kedinasan  di kotaku.  Namun dari temanku aku mulai mengenal lembaga pendidikan kedinasan itu.  Dengan niat meringankan beban keduanya, aku mulai berfikir untuk dapat kuliah di sana.  Kufotokopi semua soal-soal persiapan masuk sekolah tinggi itu agar saat tes nanti aku mampu mengerjakan soal sesungguhnya dengan mudah.

Ibu sangat mendukung persiapanku itu, sedangkan bapak menyerahkan padaku.  Mereka juga tetap memintaku untuk tetap mengikuti UMPTN (sekarang SMPTN).  Walaupun demikian, mereka memintaku untuk memilih sekolah kedinasan itu  jika diterima keduanya.  Tentu saja aku setuju.

Pilihan itu akhirnya datang, dan sesuai janjiku, dengan mantab kupilih sekolah kedinasan.  Bapak mendukungku habis-habisan.  Meski ekonomi belum pulih, mereka berusaha memenuhi kebutuhanku.  Saat itulah aku merasakan betapa mereka sayang kepadaku, sama dengan kakak-kakakku, setelah sempat hati remajaku berkobar cemburu berpikir buruk bapak tidak adil padaku.  Bukan sekedar dukungan materi, tapi juga doa tak henti-henti.  Dari kakakku kuketahui kemudian, bapak tiada henti mengisi malamnya dengan doa dan sujud agar anak-anaknya mencapai cita-citanya.

***

Seperti pepatah, tak semua telur menetas. Ada satu dua yang busuk sehingga tak menjadi ayam.  Demikian juga Bapak dan Ibu.  Meski semua usaha lahir batin telah dijalani, namun memang tak semua berjalan sesuai rencana.  Dan telur yang tak menetas itu adalah kakak pertamaku.  Tanda-tandanya dimulai saat dia gagal dalam SIPENMARU (istilah SMPTN jaman kakakku), padahal keberhasilan kuliah di PTN  sebenarnya merupakan salah satu target antara yang seharusnya bisa kami lalui.  Kegagalan kedua, dan ini yang membuat bapak dan ibu cukup kecewa, kakakku gagal menyelesaikan kuliahnya dengan setumpuk permasalahan, bahkan mengalami depresi yang cukup berat.  Ibu menanggapi dengan cukup emosional, namun bapak mampu bersikap sangat bijaksana.  Beliau dengan sabar menghibur kakakku, dan mencarikan alternatif penyelesaian.  Akhirnya, meski dengan menambah biaya yang cukup besar, Bapak memasukkan Mbak Ida ke sebuah pondok pesantren di Jombang, Jawa Timurprogram menghafal Al Qur’an (tahfizd).  Alhamdulillah, perlahan-lahan kakakku mulai bangkit dari keterpurukannya meskipun dia sudah tidak memiliki semangat untuk melanjutkan kuliah.  Karena usia Mbak Ida sudah cukup untuk menikah, Bapak berniat untuk mencarikan jodoh buatnya.

***

Bapak bukan tipe orang tua yang bersifat otoriter.   Apa pun pilihan anaknya, selama itu baik, beliau akan mendukungnya meskipun awalnya tidak setuju.  Tetapi jika alasannya cukup kuat, beliau pasti akan merubah pendirian semula.  Bukan hanya soal pilihan sekolah, hobi, bahkan saat kami harus memilih jodoh.

Bapak adalah seorang imam mesjid di kampungku, namun beliau tidak langsung melarang ketika aku menyukai seni tari jawa tradisional.  Meskipun beliau nampak kurang suka,  namun beliau membiarkanku dengan hobi itu.  Aku sempat cukup intens mendalami sampai masa remaja ketika akhirnya aku menyadari bahwa aku tak bisa melanjutkan hobi itu.  Pada saat itu aku juga akhirnya memahami mengapa Bapak tidak terlalu suka hobiku itu.

Bapak juga mendukung penuh pilihan jurusan sekolah yang sangat berbeda dengan kakak-kakakku meskipun ibu menolak keras.  Menurut Ibu, jurusan ilmu sosial tidak akanmemberikan harapan sebaik jurusan ilmu alam.  Aku mencoba memahami alasan Ibu, karena kakakku yang gagal itu juga mengambil jurusan yang sama.  Tapi aku bergeming, bersikeras memilih jurusan yang kupilih.  Pada saat itulah aku mengenal Bapak sebagai orang yang sangat pengertian.  Beliau mendukungku tanpa banyak bicara.

Sifat moderat Bapak sangat menonjol ketika anak-anaknya mulai memasuki usia pernikahan.  Mereka selalu berusaha memahami pilihan anaknya meskipun pilihan itu terlihat tidak memuaskan hati.  Bagi mereka, yang penting pilihan didasarkan agama meskipun yang lain berbeda.  Seperti kakakku nomor empat yang memilh jodoh berlainan suku, atau aku yang memiliki calon mertua berlainan agama (pada waktu itu), mereka berusaha memahami anak-anaknya. Juga saat mereka harus mencarikan jodoh buat kakak perempuanku, Bapak hanya menetapkan kriteria amalan agama dan bertanggung jawab.  Bahkan saat perjodohan itu, Bapak membiarkan kakakku mengenali calon suami mereka sampai mereka sendiri merasa setuju pilihan orangtuaku itu.

***

Hal lain yang kupahami dari Bapak adalah betapa sayangnya beliau pada anak-anaknya.  Rasa sayangnya itu beliau teruskan pada cucu-cucunya, anak-anak kami.  Bahkan, saat seharusnya beliau beristirahat menikmati masa pensiunnya, beliau menikmati tugas barunya untuk setiap hari mengantar jemput keponakanku yang saat itu bersekolah di sebuah kelompok bermain.  Ketika aku dan kakakku mengunjungi beliau setiap Idul fitri, beliau dengan murah hati memberikan kesenangan pada anak-anak kami.  Bahkan saat aku mengalami kesulitan ekonomi, tak segan-segan menolongku meskipun aku mencoba menolaknya dengan perasaan malu.

Akhirnya, kekuatan Bapat runtuh ketika beliau berusaha menolong kakakku untuk memiliki rumah impiannya tanpa diminta.  Kerentaan fisik dan beratnya beban yang beliau tanggung membuat tubuhnya ambruk. Dan akhirnya, di penghujung 2008 Bapak harus dilarikan ke rumah sakit setelah terjatuh di kamar mandi ketika beliau akan melanjutkan kebiasaan tahajudnya.

****

Kami kehilangan Bapak, akhirnya.  Namun kami percaya, bapak meninggal dengan meninggalkan teladan kebaikan yang harus kami teruskan.  Kebaikan yang harus kami berikan pada orang lain,bukan sekedar keberhasilan hidup.  Aku merasa lemah dalam hal ini, namun mengenang dirimu Bapak, aku bertekad akan meniru jejakmu untuk mewarisi kebaikan sikapmu.

Tangerang Selatan, 24 Mei 2011 (Tepat 38 Hidupku di Dunia ini)